Hak asasi manusia adalah hak dasar yang dimiliki seorang manusia sejak dia lahir. Tetapi nyatanya banyak sekali pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh Negara terhadap hak-hak asasi warga negaranya, Hal ini mendorong pemikiran bahwa perlu adanya aturan tertulis yang melindungi hak-hak asasi warga Negara agar tidak terjadi pelanggaran-pelanggaran hak di kemudian hari.
Hak asasi sendiri sudah menjadi pembahasan sejak abad XVII setelah perang dunia ke II dan pada pembentukan PBB pada tahun 1945. Pada abad XX berkembang adanya konversi hak-hak asasi manusia yang sifatnya kodrat menjadi hak-hak hukum (positif) dan hak-hak sosial. Pada masa ini munculnya Piagam PBB. Pada tanggal 10 Desember 1948 PBB mendeklarasikan piagam Hak Asasi Manusia yaitu Universal Declaration of Human Rights yang menjadi Internasional yang mengilhami instrument tambahan dan deklarasi HAM lainnya.
Deklarasi HAM sedunia itu mengandung makna ganda, baik keluar (antar Negara-bangsa) maupun ke dalam (intra Negara bangsa), berlaku bagi semua bangsa dan pemerintahan di Negara masing-masing. Makna keluar adalah berupa komitmen untuk saling menghormati dan menunjung tinggi harkat dan martabat kemanusiaan antar Negara bangsa, agar terhindar dan tidak terjerumus lagi dalam malapetaka peperangan yang menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan. Sedangkan makna ke dalam, mengandung pengertian bahwa deklarasi HAM se-Dunia itu harus senantiasa menjadi criteria obyektif oleh rakyat dari masing-masing Negara dalam menilai kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintahannya.
Sebagai sebuah pernyataan atau piagam Universal Declaration of Human Rights baru mengikat secara moral namun belum secara yuridis. Tetapi meskipun tidak mengikat secara Yuridis namun dokumen ini memiliki pengaruh moril, politik, dan edukatif yang sangant besar Dokumen ini melambangkan “commitment” moril dari dunia internasional pada norma-norma dan hak asasi.
Agar pernyataan itu dapat mengikat secara yuridis harus di tuangkan dalam perjanjian unilateral. Tanggal 16 desember 1966 lahirlah Convenant dari sidang umum PBB yang mengikat bagi Negara-negara yang meratifikasi Convenant (perjanjian) tersebut.
Perjanjian tersebut memuat :
Agar pernyataan itu dapat mengikat secara yuridis harus di tuangkan dalam perjanjian unilateral. Tanggal 16 desember 1966 lahirlah Convenant dari sidang umum PBB yang mengikat bagi Negara-negara yang meratifikasi Convenant (perjanjian) tersebut.
Perjanjian tersebut memuat :
- Perjanjian yang memuat hak-hak ekonomi, social dan budaya, (Convenant on economic, social and culture), memuat hal-hal sebagai berikut; hal atas pekerjaan (Pasal 6), membentuk serikat pekerja (Pasal 8), hak pension (Pasal 9), hak tingkat hidup yang layak bagi diri sendiri dan keluarga (Pasal 11), dan hak mendapat pendidikan (Pasal 13)
- Perjanjian tentang hak-hak sipil dan politik (Convenant on civil and political rights) yang meliputi ; Hak atas hidup (Pasal 6), kebebasan dan keamanan diri (Pasal 9), kesamaan di muka badan-badan peradilan (Pasal 14), kebebasan berfikir dan beragama(Pasal19), kebebasan berkumpul secara damai (Pasal 21), dan hak berserikat (Pasal 22).
Semula HAM ini hanya di akui di Negara-negara maju saja, Indonesia menjadi salah satu anggota PBB dan sesuai dengan perkembangan kemajuan transportasi dan komunikasi secara meluas, maka Negara berkembang seperti Indonesia mau tidak mau, harus menerimanya untuk melakukan ratifikasi instrument HAM internasional sesuai dengan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, serta kebudayaan bangsa Indonesia .
HAM bukanlah wacana yang asing dalam pelaksanaan politik dan ketatanegaraan di Indonesia. Pembahasan mengenai HAM dalam ketatanegaraan Indonesia yang ditandai dengan perdebatan yang sangat intensif dalam tiga periode sejarah ketatanegaraan, yaitu mulai dari tahun 1945, sebagai periode awal perdebatan HAM, diikuti dengan periode Konstituante (tahun 1957-1959) dan periode awal bangkitnya Orde Baru (tahun 1966-1968). Dalam ketiga periode inilah perjuangan untuk menjadikan HAM sebagai sentral dari kehidupan berbangsa dan bernegara berlangsung dengan sangat serius. Meski demikian pada periode-periode emas tersebut wacana HAM gagal dituangkan ke dalam hukum dasar negara atau konstitusi.
Perkembangan demokrasi dan HAM pada era orde baru belum berjalan dengan baik. Meski demikian terdapat beberapa peraturan yang menyangkut tentang HAM yang lahir pada masa orde baru. Hal tersebut lebih disebabkan faktor keanggotan Indonesia sebagai anggota PBB, penghormatan terhadap Piagam PBB dan Deklarasi Universal HAM serta untuk perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan HAM sesuai dengan prinsip-prinsip kebudayaan bangsa Indonesia, Pancasila dan Negara berdasarkan atas Hukum telah menetapkan:
1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 Tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita
2. Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 Tentang Pengesahan Hak-Hak Anak,
3. Keputusan Presiden Nomor 50 Tahun 1993 Tentang Komisi Nasional HAM.
Pada tanggal 15 Agustus 1998 Presiden B.J. Habibie telah menetapkan berlakunya
Keppres Nomor 129 Tahun 1998 tentang Rencana Aksi Nasional Hak-Hak Asasi Manusia Indonesia 1998-2003 atau yang disebut RAN HAM. Dalam Keppres tersebut ditegaskan bahwa RAN HAM akan dilaksanakan secara bertahap dan berkesinambungan dalam program 5 (lima) tahunan yang akan ditinjau dan disempurnakan setiap 5 (lima) tahun.
1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 Tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita
2. Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 Tentang Pengesahan Hak-Hak Anak,
3. Keputusan Presiden Nomor 50 Tahun 1993 Tentang Komisi Nasional HAM.
Pada tanggal 15 Agustus 1998 Presiden B.J. Habibie telah menetapkan berlakunya
Keppres Nomor 129 Tahun 1998 tentang Rencana Aksi Nasional Hak-Hak Asasi Manusia Indonesia 1998-2003 atau yang disebut RAN HAM. Dalam Keppres tersebut ditegaskan bahwa RAN HAM akan dilaksanakan secara bertahap dan berkesinambungan dalam program 5 (lima) tahunan yang akan ditinjau dan disempurnakan setiap 5 (lima) tahun.
Sumber :